Saat hendak beli rumah pakai layanan kredit pemilikan rumah (KPR), hendaknya kita gak menghitung persekotnya saja. Selain uang muka, ada sederet pritilan biaya yang mesti kita bayar.
Yang sering terjadi di lapangan adalah orang hanya berfokus pada uang muka alias down payment (DP). Dikiranya asal DP terpenuhi, urusan KPR bakal lancar.
Padahal KPR gak hanya berkutat dengan soal biaya. Latar belakang keuangan kita selaku pemohon KPR juga bakal diperiksa.
Salah satu komponen biaya selain uang muka dalam KPR adalah BPHTB. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ini muncul ketika kita bertransaksi properti sebagai pajak yang dipungut pemerintah. Jadi, biaya ini ada saat kita beli rumah via KPR maupun cash keras, juga saat mendapat warisan atau hibah.
Dasar hukum pengenaan BPHTB adalah Pasal 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2000
.Kalau mau transaksi beres, pajak ini mesti dibayar lunas dulu. Yang menjadi obyek pajak BPHTB adalah segala tanah atau bangunan yang ditransaksikan kepemilikannya. Adapun transaksi itu mencakup pengalihan Sertifikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Tanah Satuan, dan Hak Pengelolaan.
Jadi, kalau suatu bangunan hanya dilengkapi Hak Guna Bangunan (HGB), tetap ada komponen biaya ini. Gak hanya properti yang punya Sertifikat Hak Milik (SHM).
Soal siapa yang harus membayar pajak ini, pembeli adalah pihak yang berkewajiban. Namun pihak penjual bisa saja diminta menanggung biaya BPHTB jika diatur dalam akad jual-beli yang disetujui kedua pihak.
Secara umum, BPHTB bisa dijelaskan dengan poin berikut ini:
- Muncul karena adanya transaksi properti sebagai pungutan pajak dari pemerintah, termasuk warisan dan hibah
- Wajib dibayar dalam transaksi properti baik cash maupun kredit
- Pembeli menjadi pihak yang wajib membayar, kecuali diatur dalam akad
- Yang menjadi obyek pajak adalah tanah atau bangunan, termasuk rumah, ruko, dan apartemen
- Dasar hukumnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2000
Lalu berapa besaran biaya BPHTB yang mesti dibayar? Menurut aturan, setiap pemerintah daerah bisa menetapkan sendiri besaran tersebut. Jadi, BPHTB Jakarta mungkin saja berbeda dengan BPHTB Bekasi. Namun tetap ada dasar penghitungannya, yakni Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NPOP adalah harga properti yang disepakati penjual-pembeli. Sedangkan NJOP adalah nilai properti menurut taksiran pemerintah.
Jika NPOP lebih besar ketimbang NJOP, yang dipakai sebagai dasar penghitungan BPHTB adalah NPOP. Demikian juga sebaliknya.
Adapun rumus menghitung BPHTB adalah 1% x [NPOP/NJOP - Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)]. Menurut aturan, besaran NPOPTKP maksimal adalah Rp 60 juta untuk transaksi non-warisan/hibah.
Sedangkan NPOPTKP maksimal untuk transaksi warisan/hibah sebesar Rp 300 juta. Angka 1% ini ditetapkan pemerintah dalam kebijakan
Paket Ekonomi  IX
merevisi nilai 5% yang ditetapkan sebelumnya.
Begini contoh cara menghitung BPHTB:
Misalnya Pak Adi membeli rumah secara kredit dengan harga Rp 500 juta di Kota Bogor. Harga rumah itu menurut NJOP adalah Rp 470 juta. Maka, yang dipakai dalam contoh cara menghitung BPHTB ini adalah harga beli rumah alias NPOP.
Pemerintah Kota Bogor menetapkan NPOPTKP sebesar Rp 60 juta. Jadi, besaran BPHTB yang mesti dibayar Pak Adi:
NPOP
= Rp 500.000.000
NPOPTKP
= Rp  60.000.000
NPOPKP
= NPOP – NPOPTKP
= Rp 500.000.000 – Rp. 60.000.000
= Rp 440.000.000
BPHTP
= 1 % x NPOPKP
= 1 % x Rp. 440.000.000
= Rp 4.400.000
Karena termasuk pajak, BPHTB bisa dibayar di kantor pajak dengan terlebih dulu meminta formulirnya. Jika kita mengemplang pajak ini, akan dikenai denda 2%. Daripada kena masalah karena gak bayar pajak, mending cari aman saja. Program seperti tax amnesty buat pengemplang pajak gak selalu ada, lho. Mau tinggal di rumah yang bermasalah?

Sumber :http://u.msn.com/id-id/ekonomi/keuanganpribadi/sebelum-mengambil-kpr-ketahui-dulu-cara-menghitung-bphtb/ar-BBwOuQd?ocid=iehp