Translate

Rabu, 23 Maret 2011

Industrialisasi

PENDAHULUAN

Paper ini mencoba menyarikan lima artikel mengenai industrialisasi dengan menggunakan contoh Afrika Selatan yang menjadi sub-bab buku kumpulan artikel “Development: Theory, Policy, and Practice” dengan editornya Jan K Coetzee, Johann Graaff, Fred Hendricks, dan Geoffrey Wood. Paper pertama yang ditulis oleh Andries Bezuidenhout membahas kebijakan industri (Industrial Policy).

Tiga penulis paper kedua –Quaye Botchway, David Noon, dan Teddy Tsheko Setshedi—menguraikan mengenai teori sistem dalam pembangunan kawasan urban atau perkotaan (“System Theory in Urban Development”). Gilton Klerck menguraikan mengenai industrialisasi dan kapitalisme di Afrika Selatan dalam paper berjudul “Industrialization and the Social Regulation of Capitalism in South Africa.”

Paper keempat adalah “Information and Communication for Development” oleh Simon Burton yang menguraikan teknologi komunikasi di era informasi ini terkait dengan pendekatan baru pembangunan. Paper terakhir dalam Section D ini adalah tulisan Tony elger dan Chris Smith berjudul “Dissemination of Production Models in Developing Society.”
Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara yang gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan pemikiran Alfin Toffler maupun John Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan pembangunan berikutnya.
Pada dewasa ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana menyusun suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Semakin meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingkat konsumsi produk dan energi meningkat juga. Permasalahan ini ditambah dengan ketergantungan penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat diperbarui. Pada awal perkembangan pembangunan, industri dibangun sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk samping dan limbah yang dibuang ke lingkungan.Adanya sejumlah limbah yang dihasilkan dari proses produksi, mengharuskan industri menambah investasi untuk memasang unit tambahan untuk mengolah limbah hasil proses sebelum dibuang ke lingkungan. Pengendalian pencemaran lingkungan dengan cara pengolahan limbah (pendekatan end of pipe) menjadi sangat mahal dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan ketika jumlah industri semakin banyak, daya dukung alam semakin terbatas, dan sumber daya alam semakin menipis.
Persoalannya kemudian, pada era dewasa ini, apa pun sektor usaha yang dibangkitkan oleh sebuah bangsa maupun kota harus mampu siap bersaing pada tingkat global. Walaupun sebenarnya apa yang disebut dengan globalisasi baru dapat dikatakan benar-benar hadir dihadapan kita ketika kita tidak lagi dapat mengatakan adanya produk-produk, teknologi, korporasi, dan industri-industri nasional. Dan, aset utama yang masih tersisa dari suatu bangsa adalah keahlian dan wawasan rakyatnya, yang pada gilirannya akan mengungkapkan kemampuan suatu bangsa dalam membangun keunggulan organisasi produksi dan organisasi dunia kerjanya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi akibat yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus berbagai jenis tanaman berkhasiat obat dan beragam jenis fauna yang langka.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurun, serta melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 - 20).
Kasus Indonesia Indonesia memang negara “late corner” dalam proses industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di kawasan ini kemampuan teknologinya juga masih terbelakang.
Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik, Surabaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah didefinisikan dalam UU No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga unsur dalam pencemaran, yaitu: sumber perubahan oleh kegiatan manusia atau proses alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan (hidup/mati) pada lingkungan, dan merosotnya fungsi lingkungan dalam menunjang kehidupan.
Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk menurut pola pengelompokannya. Berkaitan dengan itu, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 102), mengelompokkan pecemaran alas dasar: a).bahan pencemar yang menghasilkan bentuk pencemaran biologis, kimiawi, fisik, dan budaya, b). pengelompokan menurut medium lingkungan menghasilkan bentuk pencemaran udara, air, tanah, makanan, dan sosial, c). pengelompokan menurut sifat sumber menghasilkan pencemaran dalam bentuk primer dan sekunder.

Kebijakan industri

Di dalam pembangunan industri ada tiga aspek penting menurut Bezuidenhout yaitu struktur, strategi, dan kebijak industri. Struktur industri di suatu negara akan sangat berhubungan dengan sektor dominan dalam sistem ekonomi negara itu; hubungan antara negara dan pasar, dan dengan cara mengatur fungsi produksi dan reproduksi.

Strategi industri adalah bagaimana negara mengubah struktur industri untuk memfasilitasi pembangunan industrinya. Tujuan strategi industri adalah mengarahkan atau menstruktur industri untuk mencapai tujuan sosial-ekonomi, seperti menciptakan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.

Kalau strategi industri lebih berupa pandangan luas restrukturisasi industri sedangkan kebijakan industri mengacu pada kebijakan pemerintah dalam mempromosikan pembangunan industri tanpa intervensi. Kebijakan-kebijakan makroekonomi, pendidikan, dan infrastruktur bisa dikategorikan sebagai kebijakan industri jika mengikuti definisi yang luas. Definisi kebijakan industri yang sempit hanya menyangkut industri tertentu saja.

Kebijakan industri akan sangat tergantung dari strategi industri yang diambil oleh suatu negara. Kebijakan industri ini akan mempengaruhi struktur industri. Struktur industri akan mengacu pada bagaimana interaksi negara dan pasar.

Bezuidenhout membandingkan struktur industri, strategi industri, peran negara, dan langkah-langkah kebijakan industri di Afrika Selatan dari empat perspektif pembangunan yaitu perspektif yang digunakan Bank Dunia, perspektif post-Fordism, perspektif Porterism, dan perspektif pendekatan ekonomi politiknya Fine dan Rustomjee (political economy approach).

Perspektif Bank Dunia akan melihat kekurangan struktur industri akibat upah buruh dan biaya modal terlalu tinggi sehingga sektor manufaktur tidak mampu bersaing akibat diproteksi. Untuk membangun industri yang kompetitif, strategi industri harus diambil adalah pemerintah harus memfokuskan pada peningkatan kepercayaan investor untuk merangsang pertumbuhan.

Intervensi negara harus dikurangi dan untuk mendorong kepercayaan investor negara harus mengeluarkan kebijakan yang pro-ekonomi. Peran negara terbatas hanya membagikan tanah terbatas dan meningkatkan keterampilan dasar pekerja industri. Negara mengeluarkan kebijakan meliberalisasi perdagangan dan keuangan, dan mendukung tertib fiskal untuk meningkatkan kepercayaan investor.

Post-Fordism akan melihat kelemahan industri akibat kebijakan substitusi impor, persoalan rasial di Afrika Selatan yang pada era post-Fordism masih sangat kuat, dan menurunnya produktivitas sektor manufaktur. Untuk mengatasi kelemahan industri, negara harus memfokuskan strategi pada peningkatkan produktivitas dan ekspor industri manufaktur. Negara hanya boleh mengintervensi jika ada kegagalan serius. Tetapi negara harus berupaya membangun kapasitas institusi industri yang baik.

Kebijakan industri yang harus diambil adalah menguatkan pasar melalui kebijakan liberalisasi perdagangan, kebijakan yang mendorong kompetisi, dan meningkatkan peran perusahan menengah dan kecil. Kebijakan lainnya adalah memperbaiki kapasitas kelembagaan demi meningkatkan pengembangan sumber daya manusia, misalnya melalui pelatihan-pelatihan. Negara juga dianjurkan mengeluarkan kebijakan yang menguatkan kemampuan teknologi yaitu dengan mendukung penelitian dan pengembangan.

Porterisme adalah istilah untuk menjelaskan perspektif yang didasarkan pada pemikiran Michael Porter, pendiri Monitor Company. Monitor Company mendapat tugas dari National Economic Forum mempelajari dan membantu memformulasikan kebijakan industri nasional Afrika Selatan. Hasil studi itu melihat strategi industri berseberangan dengan kebijakan industri. Strategi industri bertujuan memaksimalkan laju pertumbuhan ekonomi bagi negara sedangkan kebijakan industri akan memiliki gol yang berbeda.

Kelemahan struktur industri menurut perspektif Porterism antara lain karena lemahnya koordinasi antar-perusahaan di dalam satu kelompok ekonomi; perusahaan fokus pada memproduksi untuk pemerintah bukan fokus pada konsumen dan pesaing; ekspor fokus pada komoditi bukan pada peningkatan nilai tambah; lemahnya keterampilan yang terintegrasi pada kapasitas teknologi; lemahnya kompetisi di pasar lokal; dan lemahnya kemampuan birokrasi pemerintahan.

Karena itu strategi industri terutama fokus pada meningkatkan kemampuan bersaing dengan menyediakan lingkungan yang baik berbasis pasar agar perusahaan bisa beroperasi. Negara hanya harus menciptakan keadaan yang memungkinkan perusahaan bersaing dengan dorongan pasar. Bentuk intervensi terbaik adalah memperkuat faktor pasar.

Langkah-langkah kebijakan yang harus diambil antara lain menciptakan keadaan yang menghidupi bisnis dengan meningkatkan daya saing lokal dan internasional; pengembangan kelompok-kelompok bisnis serupa; mendorong value chain dan pengembangan industri yang terkait dan mendukung industri.

Value chain adalah rantai aktivitas untuk meningkatkan nilai (value). Porter (1998) mengidentifikasi satu rangkaian aktivitas yang umum ada pada perusahaan yaitu barang masuk (inbound logistic), operasi, barang keluar (outbound logistic), pemasaran dan penjualan, dan layanan (service). Setiap aktivitas atau keseluruhannya penting dalam meningkatkan kelebihan kompetitif.

Perspektif keempat mengikuti pendekatan ekonomi politiknya Ben Fine dan Zavareh Rustomjee (1996) yang menguraikan kebijakan industri Afrika Selatan yang didominasi oleh pertambangan. Menurut mereka struktur industri yang lemah akibat ekonomi masih masih didasarkan pada industri yang terdiri dari energi-mineral. Pengaruh dari interes kelas yang terkait dengan komposit energi-mineral membatasi kemampuan berkembang menjadi industri yang kuat.

Pendekatan ekonomi politik Fine dan Rustomjee mengusulkan strategi yaitu negara memelopori investasi pembangunan infrastruktur; secara selektif mengintervensi untuk mengintegrasikan komposit industri mineral-energi ke dalam industri manufaktur. Peran negara dikotomi negara dan pasar harus ditolak. Negaralah yang memegang peran sentral. Fine dan Rustomjee menilai tidak perlu ada usulan kebijakan industri yang spesifik, tetapi langkah-langkah seperti program kerja publik dan mentargetkan industri.

Keempat pendekatan ada penekanan yang berbeda, meskipun semuanya sama-sama sepakat penting memperkuat industri manufaktur. Negara kaya mineral seperti Afrika Selatan adalah mengikuti value chain yang fokus pada penambahan nilai komoditi melalui proses manufaktur sebelum mengekspor atau menjual barang-barang di pasar lokal.
Bezuidenhout menyimpulkan satu hal utama dari proses kebijakan industri di Afrika Selatan adalah peran negara menyangkut langkah-langkah kebijakan pada sisi suplai dan permintaan dan keterlibatan negara dalam pembangunan infrastruktur bangsa. Meskipun sejalan dengan kerangka ekonomi neo-liberal, peran aktif negara berkurang.

Pembangunan urban

Paper kedua, yang ditulis oleh Quaye Botchway, David Noon, dan Teddy Tsheko Setshedi bertiga, membahas peran pemerintah dalam pengembangan ekonomi lokal dengan menstimulasi peluang bisnis di komunitas yang terpinggirkan (orang India, berkulit hitam, dan berwarna) akibat kebijakan aparteid. Dari contoh kasus Provinsi Gauteng, paper ini menarik model untuk pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan dengan memodifikasi model yang digunakan di Inggris.

Quaye Botchway dalam tesis doktoralnya tahun 1999 berjudul “The emergent dynamics of local economic development: A case study of the Coventry area,” menggunakan model pengembangan ekonomi lokal berkelanjutan dengan empat kunci kebijakan ekonomi yaitu employment (pekerjaan), employability (kesempatan kerja), enterprise (perusahaan), dan environment (lingkungan ekonomi). Interaksi antar-empat kunci kebijakan ekonomi ini melalui konsep “emergence” atau kemunculan.

Emergence mengacu pada fenomena penyebab di satu tingkatan (mikro, meso, makro) memunculkan karakteristik baru di tingkatan lebih tinggi. “Emergence” ini bisa diidentifikasi menjadi tiga jenis. Pertama “physical emergence” atau kemunculkan bersifat fisik; kedua “knowledge emergence” atau kemunculan berupa pengetahuan; dan ketiga “perceptual emergence” atau kemunculan terkait dengan persepsi.

Physical emergence yaitu kemunculan pola hubungan baru berdasarkan spasial dan temporal. Knowledge emergence terjadi ketika hubungan fisik mungkin tidak berubah tetapi pemahaman manusia akan diri sendiri berubah. Perceptual emergence hubungan fisik dan pengetahuan manusia mengenai mereka tidak berubah tetapi persepsi dari pengamat dan atau mereka sendiri bisa berubah. Di dalam konteks pengembangan ekonomi lokal ketiga bentuk itu relevan. Implikasinya pada langkah-langkah kebijakan adalah ketika mengubah satu elemen akan berdampak pada elemen lainnya.

Bagaimana penjelasan kerangka analisis Botchway ini? Kerangka Botchway ini berkaitan dengan upaya lembaga pengembangan ekonomi lokal (LEDA – local economy development agencies) dalam mengembangkan kembali ekonomi lokal. Kerangka ini bisa dijelaskan melalui konsep 4-E: employment, employability, enterprise, dan environment (ekonomi).

Terkait dengan employment, upaya utama LEDA adalah menciptakan pekerjaan yang bisa menjamin keberlanjutan ekonomi. Employability berkaitan dengan respons LEDA pada persoalan pangsa pasar kerja seperti pendidikan dan pelatihan bagi pekerja atau yang baru masuk ke pangsa pasar tenaga kerja. Enterprise adalah proses-proses menstimulasi munculnya kegiatan kewirausahaan dan interaksi dengan investor. Environment (ekonomi) terkait dengan iklim isnis atau ekonomi atau penyediaan infrastruktur fisik yang bisa meningkatkan prospek ekonomi lokal.

Berdasarkan kerangka konsep proses kebijakan 4-E itu, persoalan ekonomi lokal cenderung diatasi melalui manajemen di tingkat aspek-aspek employment, employability, enerprise, dan environment. Manajemen di tingkat lokal terjadi di dalam struktur organisasi dan institusi yang ada, terkait secara hirarki.

Untuk mengakomodasi kemunculan karakteristik persoalan ekonomi lokal, kerangka konsep 4-E harus dimodifikasi. Model baru itu bisa dirumuskan sebagai 5-E sehingga ada ruang untuk awareness dan manajemen karakteristik tertentu. 5-E adalah employment; employability; enterprise, environment, dan emergence. Kerangka ini sudah dibuktikan bermanfaat untuk menganalisis persoalan ekonomi lokal di Inggris tetapi apakah cocok untuk Afrika Selatan?

Menggunakan contoh kasus pembanguan makro-ekonomi di Afrika Selatan di Provinsi Gauteng, terbukti teori 5-E ini relevan. Kesimpulannya?

Model strategi pembangunan 5-E sebagai paradigma baru bisa digunakan untuk konteks pembangunan ekonomi lokal di Afrika Selatan. Pelajaran baik penggunaan 4-E di Coventry (Inggris) tidak membantu untuk jangka waktu panjang jika tanpa melihat dinamika antara keempat kunci kebijakan dan dampak pada wilayah yang lebih luas.

Industrialisasi dan regulasi sosial

Di artikel ketiga dari lima artikel mengenai pembangunan dan industrialisasi, Gilton Klerck penulisnya, menguraikan kaitan antara regulasi sosial dengan industrialisasi, naik-turunnya persoalan Fordism rasial dengan industrialisasi, dan kondisi terkini dengan kemunculan neo-Fordism atau post-Fordism.

Industrialisasi sederhana bisa didefinisikan sebagai sebuah proses di mana porsi sumbangan industri secara umum dan khususnya manufaktur pada ekonomi atau komposisi penerimaan suatu negara meningkat. Biasanya sejalan dengan menurunnya sektor pertanian. Kondisi seperti ini yang terjadi di sejumlah negara berkembang.

Analisis kebijakan hanya menekankan pada industrialisasi saja tidak cukup. Faktor penting adalah kombinasi industrialisasi dan pembangunan sosial-politik. Para analis kebijakan melihat tiga bentuk kebijakan industrialisasi yaitu ekonomi inti (core economies), ekonomi pinggiran, dan ekonomi semi-pinggiran.

Ekonomi inti didasarkan pada industri yang menerapkan teknologi maju dan skill-intensive. Industri ini memiliki isi bernilai tambah tinggi dan tidak sensitif pada persaingan harga karena pasar lebih menejkankan pada kualitas produk dan disain.

Industri dominan dalam ekonomi pinggiran terutama sektor yang tidak berdasarkan sains yaitu mendapatkan nilai keuntungan dari sumber daya alam, buruh murah, dan tidak memiliki kapasitas mengembangkan teknologi maupun inovasi produk. Desain dan metoda produksi terstandarisasi dan pertumbuhan produktivitas lambat. Industri semi-pinggiran berada di antara ekonomi inti dan ekonomi pinggiran yaitu memanfaatkan modal lebih tinggi dan tingkat proses produksi lebih canggih daripada ekonomi pinggiran.

Ekonomi Afrika Selatan pada pertengahan 1990-an dicirikan dengan kesenjangan sosial yang besar dan rendahnya pertumbuhan ekonomi akibat kebijakan politik ekonomi aparteid. Kebijakan politik ekonomi yang pro-kulit putih ini disebut Gelb sebagai Forism rasial yang menjadi ciri khas penerapan Fordism plus kebijakan aparteid. Model kebijakan Fordism rasial ini berkarakteristik industrialisasi kombinasi aparteid dan substitusi import. Industrialisasi ini bercirikan Fordism seperti di negara maju (peningkatan produksi masal untuk dikonsumsi masal) tetapi produksi dan konsumsi terstruktur secara rasialis.

Strategi yang berkembang di Afsel hasil dari pengaruh dua faktor lokal penting. Pertama politik domestik yang berakar pada dominasi kulit putih. Dominasi ini mendorong pembuat kebijakan mengadopsi strategi yang akan meningkatkan standar hidup kulit putih. Kedua adalah masuknya Afsel ke dalam pasar tenaga kerja internasional untuk mendapatkan devisa yang akan digunakan membeli peralatan demi pengembangan pertambangan. Model pembangunan yang muncul di Afsel adalah karikatur dari Fordism di negara berkembang, terutama hubungan antara kesukuan (aparteid) dan kelas (kapitalisme). Tekanan rasial yang terinstitusional membuktikan menjadi kualifikasi utama tipe Fordism yang paling mungkin diterapkan di Afsel. Bentuk industrialisasi Fordism seperti ini mengalami hambatan karena tanpa “aspek sosial buruh atau norma konsumsi masal” yang disyaratkan dalam Fordism yaitu upah buruh yang layak.

Tekanan krisis ekonomi internasional yang dikombinasikan dengan tekanan di dalam Afsel pada Fordism rasial mendorong perubahan kebijakan yang rasialis terutama dalam hubungan perburuhan. Ekonomi dan politik Afsel memasuki tahapan krisis struktural yang tidak akan bisa diatasi jika tidak mengubah kebijakan aparteid. Kebijakan aparteid harus dihapuskan sebelum pertumbuhan ekonomi baru bisa terjadi. Dihapuskannya kebijakan aparteid memungkinkan munculnya model pembangunan yang baru.

African National Congress (ANC) muncul dengan kebijakan makro-ekonomi yang bertujuan menyeimbangkan redistribusi internal yang memprioritaskan pertumbuhan melalui ekspansi sektor barang-barang kebutuhan dasar dan bertujuan orientasi ekspor keluar dengan mencari daya saing internasional sektor manufaktur Afsel.

Apa alternatif dari Fordism rasial? Klerck mengajukan penerapan neo-Fordism dan post-Fordism. Neo-Fordism adalah intensifikasi kebijakan industrialisasi Fordism. Kalau neo-Fordism berasosiasi dengan teknologi baru dengan pekerjaan tanpa keterampilan dan meningkatnya kendali manajemen yang tersentral, post-Fordism lebih pada tenaga kerja multi-terampil dengan tempat kerja kurang hirarkinya. Post-Fordism menjanjikan citra yang lebih optimis bahwa telah terjadi perubahan dibandingkan neo-Fordism.

Informasi, komunikasi dan pembangunan

Di dalam tulisannya berjudul “Information and communication for development,” Simon Burton menguraikan bagaimana peran informasi dan komunikasi untuk mendukung pembangunan. Tujuan Burton adalah menetapkan arena diskusi dengan menunjukkanpertumbuhan nyata konsep informasi untuk ilmu sosial; mencari-cari konsep informasi, komunikasi dan pengetahuan; menyediakan pandangan singkat mengenai hubungan antara komunikasi dan pembangunan, menunjukkan pergeseran teoritis dan praktis dalam strategi; dan mempertimbangkan kampanye informasi dan persoalan teoritis dan praktisnya.

Ia mengajukan tiga kesulitan penting untuk memulai bahasan ini. Pertama, kita hidup pada masa ketika makna “pembangunan” lagi serius-seriusnya dikontestasikan dan ketika bidang studi informasi dan komunikasi sedang berupaya mengikuti praktek sosial berkaitan dengan perubahan teknologi. Kesulitan ini menelurkan pertanyaan: jenis pembangunan dan komunikasi seperti apa yang ingin kita lihat berlaku?

Kesulitan kedua, memang disiplin komunikasi pembangunan nyata-nyata ada dan mencakup rupa-rupa praktek yang beragam, melibatkan banyak aktor, sedikit terfragmentasi dan terpisah-pisah. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai kemungkinan menyajikan model yang bermanfaat dan bisa diimplementasikan dalam konteks yang berbeda-beda.

Ketiga, ada sejarah panjang melaksanakan komunikasi untuk pembangunan. Hal ini mendorong pertanyaan: apa pembelajaran terbaik dari keberhasilan dan apa provisi politik informasi yang lebih umum?

Satu yang perlu diingat, tulis Burton (2001: 435), “Kita harus mencamkan bahwa bagi kebanyakan orang di dunia, ada cara krusial yang bisa meningkatkan hidup mereka yaitu melalui informasi, pengetahuan sumber daya dan praktek komunikasi, dan perdebatan lebih luas mengenai information superhighway mungkin kecil kepedulian pada mereka dengan kebutuhan besar.”

Selanjutnya, Burton menguraikan sejumlah definisi berbagai ahli mengenai informasi. Informasi sesuatu yang abstrak, bukan benda yang nampak. Definisi informasi yang diajukan John Feather adalah “satu set pengetahuan yang dicetak dalam bentuk simbol.” Tulisan-tulisan di paper ini juga adalah informasi mengikuti definisi Feather.

Komunikasi, jika dikaitkan dengan informasi, adalah berbagi informasi dan menginterpretasikan informasi secara budaya dan personal. Komunikasi adalah sebuah proses menggunakan cara-cara tertentu untuk menyampaikan informasi (suara, gambar atau teknologi lain) dan memahaminya (decoding).

Lalu apa bedanya pengetahuan (knowledge) dan informasi? Secara umum knowledge adalah aset atau kapasitas pikiran manusia sedangkan informasi selalu memiliki pirantinya pengantarnya sendiri berupa sistem simbol yang bisa diinterpretasikan. Ketika pengetahuan disampaikan, penerima sesungguhnya menginterpretasi atau menerjemahkan simbol pengantar informasi sampai mereka paham.

Pengetahuan dan informasi adalah hasil kegiatan manusia dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Pemahaman ini membawa penelitian mengenai seberapa kuasa kelompok mampu mewakili dunia dan mereka dibandingkan lainnya melalui proses mengomunikasikan informasi. Tekait dengan penelitian pembangunan (development), siapa yang mampu merumuskan pendapat dan mengomunikasikannya akan memiliki kekuasaan.

Jadi bagaimana mengaitkan informasi, komunikasi, dan pembangunan? Muncul banyak istilah yang mencoba melihat informasi, komunikasi, dan pembangunan. Misalnya, komunikasi pembangunan, informasi dan komunikasi untuk pembangunan. Dan, komunikasi saat ini tidak bisa dipisahkan dengan teknologi yang mendorong proses penyampaian informasi dengan berbagai bentuk komunikasi menjadi lebih efisien, efektif, dan powerful.

Ada paradigma dominan di dalam komunikasi untuk pembangunan. Komunikasi untuk pembangunan yang dominan adalah dua langkah berkomunikasi. Ada perantara antara pengirim pesan dengan keseluruhan orang sebagai penerima pasif. Media massa adalah model komunikasi untuk pembangunan masyarakat.

Paradigma dominan dalam komunikasi untuk pembangunan tergantung pada sejumlah asumsi yang saling berhubungan satu dengan lainnya mengenai kekuatan media, kecocokan westernisasi sebagai model organisasi sosial, dan struktur sosial dalam masyarakat tradisional yang tidak terdiferensiasi.

Bordenave, menggunakan kerangka pemikiran Paulo Freire, berargumen pardigma dominan ini mengikuti model komunikasi satu arah (one-way), atas-bawah (top-down), dan linier. Freire menyebutnya “mentalitas transmisi” yang melihat audiens sebagai penerima pasif dan yang menganggap ada perbedaan status dan peran antara pemberi dan penerima.

Paradigma dominan melihat media memiliki peran penting dalam komunikasi untuk pembangunan. Pada kenyataannya negara (state) sering dilihat sebagai sumber utama informasi pembangunan. Negara memiliki peran membentuk lansekap informasi masyarakat. Negara memiliki sejumlah lembaga yang bisa digunakan untuk menyebarkan informasi. Ambil contoh keadaan di Indonesia. Pemerintah (atas nama negara) membentuk departemen komunikasi. Peran negara melalui departemen komunikasi ini sangat kuat pada masa kekuasaan Soeharto.

Pemerintah (kembali atas nama negara) memiliki kekuasaan melalui kebijakan menentukan strategi komunikasi untuk pembangunan. Pemerintah menjadi aktor paling penting ketika menyangkut penentuan infrastruktur informasi masyarakat dan hak warganegara mendapatkan informasi dan mengakses piranti komunikasi.

Kembali media memegang peran penting dalam memelihara ruang publik yaitu arena di mana masyarakat tanpa melihat statusnya bisa saling bicara dan mendengarkan. Media bukanlah pelayan negara (pemerintah) atau pasar tetapi sebagai pemelihara ruang dengan kebebasan mengemukakan pendapat dan mendengarkan pendapat yang lain.

Jika media menjadi salah satu lembaga penting dalam penyebaran informasi, dengan tujuan menyediakan ruang bebas bagi siapa saja untuk mengemukakan pendapat dan mendengarkan yang lain, terkait dengan negara (pemerintah) akan memunculkan pertanyaan politik, teknologi, dan finansial.

Pertanyaan politik adalah mengenai siapa yang memiliki akses pada informasi, siapa yang memiliki hak berkomunikasi, dan siapa yang akan menentukan informasi seperti apa yang isa disediakan. Pertanyaan teknologi adalah mengenai ketersediaan layanan. Dan pertanyaan finansial mengenai siapa yang membayar layanan itu. Jika bukan negara (pemerintah) atau bisnis, lalu siapa yang membayar?

Di bagian lain, Burton menguraikan mengenai social marketing yang digunakan dalam strategi komunikasi untuk pembangunan. Social marketing juga digunakan di Afsel. Tetapi, Burton mengingatkan, kita harus hati-hati dalam menggunakan komunikasi dan informasi untuk mengatasi persoalan mendasar. Mengapa? Pembangunan sering mengenai kekuasaan dan interes. Akses pada informasi dan piranti komunikasi adalah arena di mana kekuasaan dimainkan.

“Jika kita berpikir pembangunan mendukung komunikasi sebagai memainkan sejumlah peran di dalam perjumpaan anara institusi pembangunan dan subyek pembangunan, melalui ahli atau profesional di bidang pembangunan, kita harus menyadari bahwa komunikasi itu sendiri adalah gol atau tujuan, produk yang tidak pernah selesai dibentuk, sama seperti partisipasi,” tulis Burton.

Burton mengambil enam kesimpulan terkait dengan tantangan pemikiran dan mempraktekkan informasi dan komunikasi untuk pembangunan:

(1) Kita dihadapkan pada pilihan yang banyak saluran informasi yang mampu membawa berbagai bentuk informasi berbeda.
(2) Kita dihadapkan pada beragam sumber awal informasi dan luasnya penerima potensial.
(3) Kita dihadapkan pada sejumlah pilihan tujuan transfer informasi.
(4) Kita berada di periode perubahan teknologi yang menumbuhkan banyak kemungkinan komunikasi.
(5) Kita menghadapi keputusan politik yang penting mengenai pembangunan itu sendiri dan kadang mengkonteskan intervensi hasil dari pembangunan.
(6) Ada hal mendasar yang menentukan dalam praktek transfer informasi dan potensi konsekuensi yang tidak diharapkan dari strategi komunikasi yang disiapkan sungguh-sungguh.

Karena buku ini diterbitkan 2001, kesimpulan no 4 sudah terjadi. Istilah masyarakat (society) perlu didefinisikan ulang dengan adanya Internet dan sejumlah layanan di Internet, terutama jaringan sosial, seperti FaceBook, Twitter, dan berbagai fasilitas layanan jejaring lainnya di Internet. Ketika definisi masyarakat berubah, definisi pembangunan (development) juga ikut berubah, terutama jika dikaitkan dengan penyebaran informasi untuk menunjang pembangunan.

Penyebaran model produksi

Salah satu fitur pembangunan kapitalis yang tidak merata adalah adanya perbedaan organisasi sosial produksi dan hubungan pekerja di tingkat internasional. Tony Elger dan Chris Smith mencoba mengeksplorasi bagaimana pengaruh pemindahan produksi dari negara maju ke negara berkembang terhadap model produksi dan hubungan perburuhan. Mereka menggunakan contoh kasus investasi langsung trans-national corporation (TNC) Jepang di Meksiko dan Malaysia.

TNC tidak semuanya mempunyai struktur, strategi, dan karakter institusi yang sama. TNC dari negara-negara Eropa dan AS berbeda dengan TNC dari Jepang. Perbedaan itu berimplikasi strategi investasi di negara berkembang juga berbeda. Berbeda jenis industri berbeda pula kebijakannya terkait dengan paradigman produksi dan hubungan perburuhannya. Berbeda negara sasaran investasinya juga akan berbeda paradigma produksi dan hubungan perburuhannya.

Investasi Jepang di Meksiko mengelompok di bagian utara dekat perbatasan dengan AS. Pada awalnya investasi itu untuk merespon pengetatan migrasi buruh di perbatasan, tetapi kemudian berubah kegiatan produksi difokuskan untuk ekspor mengikuti kebijakan industrialisasi pemerintah Meksiko.

Kebijakan manajemen pabrik-pabrik kendaraan bermotor Jepang di Meksiko bercirikan manajemen senior kuat memegang kendali, tekanan kerja tinggi, kepuasan buruh relatif rendah, ada rotasi kerja, lambat sekali peningkatan kemajuan, ada pelatihan untuk pekerjaan tertentu, dan ada penerapan teknik total quality management.

Berbeda dengan pabrik elektronik. Di pabrik elektronik tidak ada rotasi pekerjaan, buruh tidak terampil, kalau pun ada rotasi dan training akan berdasarkan seleksi dan sedikit sekali kesempatannya, dan tidak ada upaya untuk melibatkan buruh dalam meningkatkan kerja.

Dibandingkan dengan proses produksi di Jepang, pabrik di Meksiko berupaya beradaptasi dengan kondisi lokal sehingga praktek kaizen (just in time) tidak bisa diterapkan. Keterbatasan infrastruktur lokal dan perlunya mengimpor komponen dari Jepang menyebabkan penerapan kaizen menjadi sulit.

Proses produksi pabrik Jepang di Meksiko sangat ketat mengikuti standar sehingga kecil kemungkinan untuk memperbaiki produksi. Proses produksi yang standar ini sesuai dengan buruh yang tidak terampil dan berupah murah. Perbedaan kerja buruh perempuan dan laki-laki sangat ketat.

Malaysia menerapkan strategi industrialisasi mendorong investasi. Investasi Jepang masuk di bidang industri ekstraktif dan industri manufaktur bermitra dengan perusahaan lokal. Kebijakan industri di Malaysia untuk memenuhi pasar lokal sebelum berpindah ke pasar ekspor. Kebijakan berorienasi ekspor ini yang menjadi daya tarik investasi Jepang di Malaysia.

Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy) Malaysia yang memberikan peluang lebih banyak pada masyarakat Melayu (dan mendiskriminasikan suku lainnya) mendorong munculnya kelas pekerja dari masyarakat Melayu di pabrik-pabrik beroreintasi ekspor dan tumbuhnya borjuis-borjuis Melayu. Konsekuensinya para investor sektor industri harus menerima pekerja pemudi Melayu (sering dari kampung-kampung) untuk bekerja sebagai buruh perakitan. Suku Cina menduduki posisi sebagai pengawas dan manajer personalia. Segmentasi ini menstruktur jarak sosial yang jauh antara manajer dan pekerja.

Kebijakan “Look East” mendorong perusahaan penanaman modal kerja sama (joint venture) mengirim insinyur dan teknisi untuk belajar ke Jepang. Meskipun ada pelatihan formal di Jepang, tetap saja transfer pengetahuan dari Jepang ke perusahaan di Malaysia terbatas.

Lima artikel di dalam Bagian D buku “Development: Theory, Policy, and Practice” ini menjelaskan kebijakan industrialisasi dan strategi industrialisasi mempengaruhi bentuk industri yang sesuai, termasuk juga bentuk industri pindahan dari negara maju.

Referensi

Coetzee, J.K., Graaff, J., Hendricks, F., dan Wood, G. (Editor). 2001. Development: Theory, Policy, and Practice. New York: Oxford University Press.

Fine, B dan Rustomjee, Z. 1996. The Political Economy of South Africa: From Minerals-Energy Complex to Industrialisation. London: C. Hurst and Co.

Porter, M.E. 1998. Competitive Advantage:Creating and Sustaining Superior Performace: With a New Introduction. New York: The Free Press.

Buku Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro dan Makro) edisi revisi, Rahardja P, Manurung M, Universitas Indonesia

Sektor Pertanian

I. PENDAHULUAN

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan bakuindustri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.

Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor – sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.

Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologidan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian, biokimia, dan statistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh “petani tembakau” atau “petani ikan”. Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak.

Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan manusia. Dalam arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan sebidang lahan untuk membudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama yang bersifat semusim.

Usaha pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu. Kehutanan adalah usaha tani dengan subjek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah liar atau liar (hutan). Peternakan menggunakan subjek hewan darat kering (khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan amfibia) atau serangga (misalnya lebah). Perikananmemiliki subjek hewan perairan (termasuk amfibia dan semua non-vertebrata air). Suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai subjek ini bersama-sama dengan alasan efisiensi dan peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek konservasi sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha pertanian.

Semua usaha pertanian pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang sama akan pengelolaan tempat usaha, pemilihan benih/bibit, metode budidaya, pengumpulan hasil, distribusi produk, pengolahan dan pengemasan produk, dan pemasaran. Apabila seorang petani memandang semua aspek ini dengan pertimbangan efisiensi untuk mencapai keuntungan maksimal maka ia melakukan pertanian intensif (intensive farming). Usaha pertanian yang dipandang dengan cara ini dikenal sebagaiagribisnis. Program dan kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian ke cara pandang demikian dikenal sebagai intensifikasi. Karena pertanian industrial selalu menerapkan pertanian intensif, keduanya sering kali disamakan.

Sisi yang berseberangan dengan pertanian industrial adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan, dikenal juga dengan variasinya seperti pertanian organik atau permakultur, memasukkan aspek kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam perhitungan efisiensinya. Akibatnya, pertanian berkelanjutan biasanya memberikan hasil yang lebih rendah daripada pertanian industrial.

Pertanian modern masa kini biasanya menerapkan sebagian komponen dari kedua kutub “ideologi” pertanian yang disebutkan di atas. Selain keduanya, dikenal pula bentuk pertanian ekstensif (pertanian masukan rendah) yang dalam bentuk paling ekstrem dan tradisional akan berbentuk pertanian subsisten, yaitu hanya dilakukan tanpa motif bisnis dan semata hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau komunitasnya.

Sebagai suatu usaha, pertanian memiliki dua ciri penting: selalu melibatkan barang dalam volume besar dan proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini muncul karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Beberapa bentuk pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah dapat mengurangi ciri-ciri ini tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia masih tetap demikian.

A. Peranan Sektor Pertanian

Mengikuti analisis klasik dari Kuznets(1964), pertanian di LDCs dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yangg sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut :

* Kontribusi Produk

Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik dari sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.

Kontribusi produk pertanian terhadap PDB dapat dilihat dari relasi antara pertumbuhan dari kontribusi tersebut dengan pangsa PDB awal dari pertanian dan laju pertumbuhan relatif dari produk-produk neto pertanian dan non pertanian.

Laju penurunan peran sektor pertanian secara relatif di dalam ekonomi cenderung berasosialisasi dengan kombinasi dari tiga hal berikut. Pangsa PDB awal dari sektor-sektor nonpertanian yang relatif lebih tinggi daripada pangsa PDB awal dari pertanian, laju pertumbuhan output dari sektor-sektor pertanian yang relatif rendah, dan laju pertumbuhan output dari sektor-sektor nonpertanian yang relatif tinggi.

Di dalam sistem ekonomi terbuka, besarnya kontribusi produk terhadap PDB dari sektor pertanian baik lewat pasar maupun lewat keterkaitan produksi dengan sektor-sektor nonpertanian, misalnya industri manufaktur, juga sangat dipengaruhi oleh persiapan sektor itu sendiri dalam menghadapi persaingan dari luar. Dari sisi pasar, kasus Indonesia menunjukan bahwa banyak industri barang-barang dari kayu dan rotan sering mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku di dalam negeri karena komoditi-komoditi tersebut di ekspor dengan harga jual di pasar luar negeri jauh lebih mahal dari pada dijual ke industri-industri tersebut.

* Kontribusi Pasar

Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.

Peranan sektor pertanian lewat kontribusi pasarnya terhadap diversifikasi dan pertumbuhan output sektor-sektor nonpertanian seperti yang dijelaskan di atas sangat tergantung pada dua faktor penting yang dapat dianggap sebagai prasyarat. Pertama, dampak dari keterbukaan ekonomi dimana pasar domestik tidak hanya diisi oleh barang-barang buatan dalam neger, tetapi juga barang-barang impor. Di dalam sistem ekonomi tertutup, kebutuhan petani akan berang-barang nonmakanan mau tidak mau harus di penuhi oleh industri di dalam negeri. Jadi, secara teoritis, efek dari pertumbuhan permintaan di pasar domestik terhadap perkembangan dan pertumbuhan industri domestik terjamin sepenuhnya. ini berbeda jika sistem ekonomi adalah terbuka, dimana industri dalam negeri menghadapi persaingan dari barang-barang impor. Dengan kata lain, dalam sistem ekonomi terbuka, pertumbuhan konsumsi yang tinggi di sektor-sektor nonpertanian.

Kedua, jenis teknologi yang digunakan di sektor pertanian yang menentukan tinggi rendahnya tingkat mekanisasi atau moderenisasi di sektor tersebut. Permintaan terhadap barang-barang produsen buatan industri dari kegiatan-kegiatan pertanian tradisional lebih kecil dibanding permintaan dari sektor pertanian yang sudah moderen

* Kontribusi Faktor-faktor Produksi

Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, meurut teori penawaran tenaga kerja tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus, bahwa dalam proses pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus tenaga kerja dari pertanian ke industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontriibusi faktor-faktor produksi.

Ada dua faktor produksi yang dapat dialihkan dari pertanian ke saktor-sektor nonpertanian, tanpa harus mengurangi volume produksi disektor pertama. Di Indonesia, keterkaitan investasi (I) antara sektor pertanian dengan sektor-sektor non pertanian sangat perlu ditingkatkan terutama untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pinjaman luar negeri.

Ada beberapa kondisi yang harus terpenuhi terlebih dahulu. Pertama, petani-petani harus menjual sebagian dari outputnya ke luar sektornya. Kedua, petani-petani harus merupakan penabung neto, dan untuk ini pengeluaran mereka untuk konsumsi harus lebih kecil dari pada produksi mereka. Ketiga, tabungan para petani harus lebih besar dari pada kebutuhan investasi di sektor pertanian.

* Kontribusi Devisa

Sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan, baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri menggantikan impor. Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.

Kontribusi sektor pertanian terhadapa peningkata devisa adalah lewatt peningkatan ekspor atau pengurangan tingkat ketergantungan negara tersebut terhadap impor atas komoditi-komoditi pertanian. Tentu, kontribusi sektor itu terhadap ekspor juga bisa bersifat tidak langsung, misalnya lewat peningkatan ekspor atau pengurangan impor produk-produk berbasis pertanian seperti makanan dan minuman, tekstil dan produk-produknya, barang-barang dari kulit, ban mobil, obat-obatan dan lain-lain.

Akan tetapi, peran sektor pertanian dalam peningkatan devisa bisa kontradiksi dengan perannya dalam bentuk kontribusi produk. Seperti telah dibahas sebelumnya, krontribusi produk dari sektor pertanian terhadap pasar dan industri domestik bisa tidak besar karena sebagian besar produk pertanian diekspor dan sebagian besar kebutuhan pasar domestik disuplai oleh produk-produk impor. Dalam kata lain, usaha peningkatan ekspor pertanian bisa berakibat negatif terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya, usaha memebuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu faktor penghambar bagi pertumbuhan ekspor pertanian.

Untuk menghindari trade-off seperti ini, maka ada dua hal yang perlu dilakukan disektor pertanian, yakni menambah kapasitas produksi disatu sisi, dan meningkatkan daya saing produk-produknya disisi lain. Namun bagi banyak LDCs termasuk Indonesia, melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah, terutama karena keterbatasan tekhnologi, SDM, dan K.

Peranan Sektor Pertanian

Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor – sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.
Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologi dan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian, biokimia, danstatistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh “petani tembakau” atau “petani ikan”. Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak.

Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam penguasaan Iptek muktahir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal, jelas belum memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) pada sektor ekonomi yang berbasis Iptek dan padat modal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumberdaya alam, padat tenaga kerja, dan berorientasi pada pasar domestik. Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan.

Kedua, menurut proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 228-248 juta jiwa pada tahun 2008-2015. Kondisi ini merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar) khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan. Selain itu ketersedian sumber daya alam berupa lahan dengan kondisi agroklimat yang cukup potensial untuk dieksplorasi dan dikembangkan sebagai usaha pertanian produktif merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya.

Ketiga, walaupun kontribusi sektor pertanian bagi output nasional masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya yakni hanya sekitar 12,9 persen pada tahun 2006 namun sektor pertanian tetap merupakan salah satu sumber pertumbuhan output nasional yang penting. Berdasarkan data BPS, pada Bulan Februari 2007 tercatat sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, yakni sekitar 44 persen.

Keempat, sektor pertanian memiliki karakteristik yang unik khususnya dalam hal ketahanan sektor ini terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro (Simatupang dan Dermoredjo, 2003 dalam Irawan, 2006). Hal ini ditunjukkan oleh fenomena dimana sektor ini tetap mampu tumbuh positif pada saat puncak krisis ekonomi sementara sektor ekonomi lainnya mengalami kontraksi. Saat kondisi parah dimana terjadi resesi dengan pertumbuhan PDB negatif sepanjang triwulan pertama 1998 sampai triwulan pertama 1999, nampak bahwa sektor pertanian tetap bisa tumbuh dimana pada triwulan 1 dan triwulan 3 tahun 1998 pertumbuhan sektor pertanian masing-masing 11,2 persen, sedangkan pada triwulan 1 tahun 1999 tumbuh 17,5 persen. Adapun umumnya sektor nonpertanian pada periode krisis ekonomi yang parah tersebut pertumbuhannya adalah negatif (Irawan, 2004, dalam Irawan, 2006).

Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional tersebut sudah seharusnya kebijakan-kebijakan negara berupa kebijakan fiskal, kebijakan moneter, serta kebijakan perdagangan tidak mengabaikan potensi sektor pertanian. Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pentingnya sektor pertanian dengan menempatkan revitalisasi pertanian sebagai satu dari strategi tiga jalur (triple track strategy) untuk memulihkan dan membangun kembali ekonomi Indonesia. Salah satu tantangan utama dalam menggerakan kinerja dan memanfaatkan sektor pertanian ini adalah modal atau investasi. Pengembangan investasi di sektor pertanian diperlukan untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani, serta pengembangan wilayah khususnya wilayah perdesaan.

Sektor Pertanian Merupakan Sektor Paling Penting

Struktur perekonomian Indonesia merupakan topik strategis yang sampai sekarang masih menjadi topik sentral dalam berbagai diskusi di ruang publik. Kita sudah sering mendiskusikan topik ini jauh sebelum era reformasi tahun 1998. Gagasan mengenai langkah-langkah perekonomian Indonesia menuju era industrialisasi, dengan mempertimbangkan usaha mempersempit jurang ketimpangan sosial dan pemberdayaan daerah, sehingga terjadi pemerataan kesejahteraan kiranya perlu kita evaluasi kembali sesuai dengan konteks kekinian dan tantangan perekonomian Indonesia di era globalisasi.

Tantangan perekonomian di era globalisasi ini masih sama dengan era sebelumnya, yaitu bagaimana subjek dari perekonomian Indonesia, yaitu penduduk Indonesia sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sekarang ada 235 juta penduduk yang tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dan daerah, sehingga arah perekonomian Indonesia masa itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Berdasarkan pertimbangan ini, maka sektor pertanian menjadi sektor penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka kita mulai mencanangkan masa depan Indonesia menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian kita juga semakin kuat.

Seiring dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita menghadapi berbagai permasalahan. Di sektor pertanian kita mengalami permasalahan dalam meningkatkan jumlah produksi pangan, terutama di wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bertani. Perkembangan penduduk yang semakin besar membuat kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung kehidupan masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat pertanian beririgasi teknis semakin berkurang.

Selain berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian per hektare juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari produktivitas ini adalah karena pasokan air yang mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung serta saluran irigasi yang ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi dengan siklus cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin mengurangi pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan pertanian.

Sesuai dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Di kemudian hari kita mungkin saja akan semakin bergantung dengan impor pangan dari luar negeri. Impor memang dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam dan Thailand. Namun, kita juga perlu mencermati bagaimana arah ke depan struktur perekonomian Indonesia, dan bagaimana struktur tenaga kerja yang akan terbentuk berdasarkan arah masa depan struktur perekonomian Indonesia.

Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.

Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi.

Data ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan.

Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik.

Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.

Struktur perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia.

Saat ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat sekarang ini.

Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Di tengah berbagai permasalahan, sektor pertanian masih memegang peran yang sangat strategis bagi ketenagakerjaan di Indonesia. Selama periode 1996-2002, rata-rata untuk setiap 10 orang pekerja Indonesia, 4-5 diantaranya bekerja atau berusaha di lapangan usaha itu. Sementara itu, berdasarkan data sakernas tahun 2006, penduduk Indonesia yang bekerja dalam bidang pertanian mencapai 42.039.250 orang dari 95.177.102 orang (44,2%) penduduk Indonesia yang bekerja. Memperhatikan hal tersebut, maka kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia sangat tidak realistis jika mengabaikan sektor pertanian. Sektor ini lah yang justru tidak mengalami pukulan yang hebat di saat sektor lain mengalami keterpurukan oleh krisis ekonomi. Bahkan beberapa komoditi pertanian, terutama perikanan justru mengalami keuntungan luar biasa pada saat krisis ekonomi terjadi.

Data di atas menunjukan bahwa pekerja Indonesia masih sangat terkonsentrasi pada profesi petani. Profesi-profesi lain yang tergolong memiliki produktivitas tinggi termasuk profesional/teknisi dan managerial/admiinistrasi masih sangat rendah proporsinya. Walaupun demikian, terdapat adanya kecenderungan semakin meningkatnya persentase penduduk yang bekerja pada sektor non pertanian dari waktu ke waktu. Selama kurun waktu 1990-1997, tenaga kerja sektor bukan petani meningkat lebih dari 16,5 juta orang. Sektor perdagangan, jasa, industri dan kontruksi mengalami pertambahan tenaga kerja mencolok. Selama kurun waktu itu, tenaga kerja bukan petani secara keseluruhan tumbuh sekitar 6,0 persen pertahun.

masih tingginya daya serap sektor pertanian tidak disertai dengan upaya yang memadai dari pemerintah dalam bentuk kebijakan yang kondusif untuk berkembanganya sektor tersebut. Petani dan sektor pertanian masih di tempatkan pada posisi marginal. Kebijakan pemerintah cenderung bertentangan dengan keinginan para petani. Kebijakan impor beras, gula, dan komoditi lainnya mencerinkan pertentangan antara keinginan petani dan pemerintah. Kondisi ini membuat nasib petani tidak beranjak menjadi lebih baik. pernyataan Bank Dunia beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa kenaikan harga beras menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 3,1 juta orang.

Sektor pertanian juga semakin tergeser oleh sektor lainnya dengan semakin tingginya alih fungsi lahan peranian dan semakin luasnya lahan kritis. Pembangunan permukiman yang meluas sampai ke daerah pedesaan membuat lahan pertanian yang subur tidak lagi menghasilkan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Desakan kebutuhan akan lahan kemudian muncul ketika petani sudah tidak memiliki lahan yang memadai untuk diolah. Pada akhirnya mereka membuka lahan baru yang seharusnya menjadi lahan konservasi, sehingga lahan kritis juga semakin luas.

Sumber Daya Manusia Dalam Pertanian

Sumber daya manusia (SDM) adalah tenaga kerja yang mampu bekerja dan melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa yang mempunyai nilai ekonomis dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat, sedangkan tanaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja (UU Ketenaga Kerjaan). Kondisi SDM dlaam bidang pertanian atau petani di Indonesia masih sangat rendah. DIlihat dari pendidikannya 59, 2% petani tidak menamatkan SD, sebanyak 32,1%, tamatan SLTP dan SLTA masing-masing 5,7 dan 2,9%.

Rendahnya tingkat pendidikan petani juga diikuti oleh rendahnya produktivitas kerja. Pada tahun 2002 produktivitas sektor pertanian bernilai Rp 1,69 juta perorang. Pada tahun 2003 nilainya turun menjadi Rp 1,68 juta perorang. Sementara itu, pada sektor lainnya (pertambangan, listrik gas dan air) angka produktivitas mencapai Rp 54,94 juta perorang. Di sektor perdagangan besar, perdagangan eceran, rumah makan dan hotel mencapai nilai Rp 4,21 juta per orang, dan merupakan urutan kedua terendah setelah pertanian. Angka produktivitas tersebut mengandung arti bahwa sektor pertanian saat ini dalam kondisi yang sudah jenuh terhadap kesempatan kerja.

Rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian tersebut terkait dengan kondisi umur, tingkat pendidikan, curahan jam kerja, dan luas garapan pertanian. Sebaran tenaga kerja pertanian (diluar perikanan dan kehutanan) berdasarkan kelompok umur 25-44 tahun (46%), kemudian kelompok umur diatas 45 tahun (38%), dan kelompok umur kurang dari 25 tahun (16%). Pada masa yang akan datang di khawatirkan akan kekurangan tenaga kerja pertanian. Tren aging agriculture sudah mulai terlihat pada sektor pertanian yaitu tenaga kerjanya mulai menunjukan komposisi penduduk usia lanjut yang semakin besar.

Referensi :

http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian

http://echaagunadarma.blogspot.com/2011/03/bab-6-sektor-pertanian.html

http://eviienurafiani.blogspot.com/2011/03/perekonomian-indonesia-bab-6-sektor.html

http://metrotvnews.com/read/analisdetail/2010/06/09/23/Sektor-Pertanian-dan-Struktur-Perekonomian-Indonesia >> Firmanzah, PhD
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

http://file.upi.edu/Direktori/B%20-%20FPIPS/JUR.%20PEND.%20GEOGRAFI/197106041999031%20-%20IWAN%20SETIAWAN/tenaga%20kerja.pdf

Buku Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro dan Makro) edisi revisi, Rahardja P, Manurung M, Universitas Indonesia

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN


1. PENDAHULUAN
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relative, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute. Kemiskian relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Di Negara-negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingakt pendapatan rata-rata per kapita. Sebagi suatu ukuran relative, kemiskinan relative dapat berbeda menurut Negara atau periode di suatu Negara. Kemiskinan absolute adalah derajat dari kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi.
Masalah kemiskinan yang dihadapi di setiap negara akan selaludi barengi dengan masalah laju pertumbuhan penduduk yang kemudian menghasilkan pengangguran, ketimpangan dalam distribusi pendapatan nasional maupun pembangunan, dan pendidikan yang menjadi modal utama untuk dapat bersaing di dunia kerja dewasa ini
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab, kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang. Khususnya Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya karena selama ini pemerintah [tampak limbo] belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab, dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi [makro] semata. Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik. Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up intervention” dengan padat karya atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha [enterpreneur].
Karena itu situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukkan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang sama] dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Kondisi Umum Masyarakat
Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus sekolah dan buta huruf. Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu 23 persen di antaranya berada dalam usia produktif antara 15-44 tahun. Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat “signifikan.” Jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan/busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan “Nasi Aking.”
Di Nusa Tenggara Timur (NTT) 2000 kasus balita kekurangan gizi dan 206 anak di bawah lima tahun gizi buruk. Sedangkan di Bogor selama 2005 tercatat sebanyak 240 balita menderita gizi buruk dan 35 balita yang statusnya marasmus dan satu di antaranya positif busung lapar. Sementara di Jakarta Timur sebanyak 10.987 balita menderita kekurangan gizi. Dan, di Jakarta Utara menurut data Pembinaan Peran Serta Masyarakat Kesehatan Masyarakat [PPSM Kesmas] Jakut pada Desember 2005 kasus gizi buruk pada bayi sebanyak 1.079 kasus.
BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
INDIKATOR KESENJANGAN
Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini.
Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
INDIKATOR KEMISKINAN
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line).
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut
Setelah mempelajari bab tentang sistem perekonomian di Indonesia, dan mengetahui macam-macam sistem ekonomi di seluruh dunia, sekarang akan di bahas beberapa elemen penting yang menentukan tingkat kesejahteraan ekonomi suatu negara.
Kemiskinan dan kesenjangan pendapatan akan mempengaruhi perkonomian di suatu negara karena dengan mengetahui dan mempelajari hal tersebut, kita dapat mengetahui, menganalisis, dan menetukan hasil dari kebijakan ekonomi yang diajalankan suatu negara. Apakah mempunyai dampak positif? Apakah berjalan dengan baik? Dan dapat menentukan kemakmuran atau kesejahteraan suatu negara.
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu :
1.Kemiskinan relatif
Konsep yg mengacu pada garis kemiskinan yakni ukuran kesenjangan dalam
distribusi pendapatan. Kemiskinan relatifè proporsi dari tingkat pendapatan
rata-rata.
2.Kemiskinan absolute (ekstrim)
Konsep yg tidak mengacu pada garus kemiskinan yakni derajad kemiskinan dibawah dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi.

Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001, 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari. Dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari.
Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001. Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.
Kesenjangan
Kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Sebab kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugerah awal (Endowment Factor). Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno, Sadono, 1976).
Menurut Mydral (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan mengakibatkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) yang dalam hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibakan kesenjangan antar daerah (Arsyad,Lincolin, 1999:129).
Adelman dan Moris berpendapat bahwa kesenjangan pendapatan di daerah ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh ukuran negara, sumber daya alam, dan kebijakan yang dianut. Dengan kata lain, faktor kebijakan dan dimensi structural perlu diperhatikan selain laju pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, Mudrajad,1997:111).
Berikut adalah sekilas sejarah kemiskinan dan distribusi pendapatan di Indonesia :
Kebijakan dan perencanaan pembangunan Orde Baru adalah pembangunan dipusatkan di Jawa (khususnya diJakarta) dengan harapan akan terjadi "Trickle Down Effect" dengan orientasi pada pertumbuhan yang tinggi.
Strategi Pembangunan.
Pada awal pemerintah orde baru percaya bahwa proses pembangunan ekonomi akan menghasilkan Trikle down effectè Hasil pembangunan akan menetes ke sector-sektor lain dan wialayah Indonesia lainnya.
Fokus pembangunan ekonomi pemerintahè Mencapai laju pertumbuhan ekonomi yg tinggi dalam waktu yang singkat melalui pembangunan pada:
a. Wilayah yang memiliki fasilitas yang relative lengkap (pelabuhan, telekomunikasi, kereta api, kompleks industri, dll) yakni di P. Jawa khsususnya Jawa Barat.
b. Sektor-sektor tertentu yang memberikan nilai tambah yang tinggi.
Hasil strategi pembangunanè Kurang efektif.
a. 1980 – 1990è Laju pertumbuhan ekonomi (PDB) tinggi
b. Kesenjangan semakin besar (jumlah orang miskin semakin banyak)


Perubahan strategi pembangunan
Berdasarkan hasil pembangunan tsb, mulai PELITA 3 pemerintah merubah tujuannya menjadi mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat.
Strategiè     a. Konsentrasi pembangunan diseluruh Indonesia
            b. Pembangunan untuk seluruh sektorè pengembangan sektor
             pertanian melalui berbegai program seperti transmigrasi, industri
padat karya, industri rumah tangga
Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan.
Data 1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi.
Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan sikaya dengan simiskin.
Penelitian di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 198an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC's dan DC's seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia.
Janti (1997) menyimpulkan è semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga.
Hipotesis Kuznetsè ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan.
Dengan data cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemnukan bahwa relasi kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U terbalik.
Tingkat Pendapatan Per Kapita
Hasil ini menginterpretasikan: Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan (ekonomi industri) è Pada awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai akibat proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan, ketimpangan menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga kerja dari desa atau produksi atau penciptaan pendapatan dari pertanian lebih kecil.
Banyak studi untuk menguji hipotesis Kuznets dengan hasil:
1.Sebagian besar mendukung hipotesis tersebut, tapi sebagian lain menolak
1.Hubungan positif pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan hanya dalam jangka panjang dan ada di DC's
2.Kurva bagian kesenjangan (kiri) lebih tidak stabil daripada porsi kesenjangan menurun sebelah kanan.
Deininger dan Squire (1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486 observasi dari 45 LDC's dan DC's (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini berkorelasi positif antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.
Anand dan Kanbur (1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung hipotesis Kuznets. Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi pendapatan tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep pendapatan, unit populasi dan cakupan survey berbeda.
Ravallion dan Datt (1996) menggunakan data India:
proxy dari pendapatan perkapita dengan melogaritma jumlah produk domestik (dalam nilai riil) per orang (1951=0)
proxy tingkat kesenjangan adalah indeks Gini dari konsumsi perorang (%)
Hasilnya menunjukkan tahun 1950an-1990an rata-rata pendapatan perkapita meningkat dan tren perkembangan tingkat kesenjangan menurun (negative).
Ranis, dkk (1977) untuk China menunjukkan korelasi negative antara pendapatan dan kesenjangan.
Hubungan Pertumbuhan dan Kemiskinan.
Hipotesis Kuznets: Pada tahap awal pembangunan tingkat kemiskinan meningkat dan pada tahap akhir pembangunan tingkat kemiskinan menurun.
Faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan:
1.Pertumbuhan
2.Tingkat pendidikan
3.Struktur ekonomi
Wodon (1999) menjelaskan hubungan pertumbuhan output dengan kemiskinan diekspresikan dalam:
Log Gkt = α + βLog Wkt + αt + ∑kt
Dimana:
Gkt : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t
Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan) diwilayah k pada periode t
αt    : Efek lokasi yang tetap
∑kt : Term kesalahan
Dalam persamaan tersebut, elastisitas ketidakmerataan distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan merupakan komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskinan.
g : efek bruto (ketimpangan konstan)
l : efek neto (efek dari perubahan ketimpangan)
b : elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan
d : elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan
maka,
Λ = γ + βδ
Elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan diperoleh dengan persamaan:
Log Pkt = w + Log Wkt + Log Gkt + wk + vkt
Dimana:
Pkt : Kemiskinan diwilayah k pada periode t
Gkt : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t
Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan)
diwilayah k pada periode t
Wk : efek-efek yang tetap
vkt :term kesalahan
Studi empiris di LDC's menunjukkan ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan. Studi lain menunjukkan bahwa kemiskinan berkorelasi dengan pertumbuhan output (PDB) atau Pendapatan nasional baik secara agregat maupun disektor-sektor ekonomi secara individu.
1.Ravallion dan Datt (1996) dengan data dari India menemukan bahwa pertumbuhan output disektor-sektor primer khususnya pertanian jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan dengan sector sekunder.
2.Kakwani (2001) untuk data dari philipiana menunjukkan hasil yang sama dengan Ravallion dan Datt. Peningkatan output sektor pertanian 1% mengurangi jumlah kemiskinan 1% lebih sedikit. Peningkatan output sektor industri 1% mengurangi jumlah kemiskinan 0,25 saja.
3.Mellor (2000) menjelaskan ada tendensi partumbuhan ekonomi (terutama pertanian) mengurangi kemiskinan baik secara mangsung maupun tidak langsung.
4.Hasan dan Quibria (2002) menyatakan ada hubungan antara pertumbuhan dengan kemiskinan
5.ADB (1997) untuk NIC's Asia Tenggara (Taiwan, Korsel, dan Singapura) menunjukkan pertumbuhan output di sector industri manufaktur berdampak positif terhadap peningkatan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan
6.Dolar dan Kraay (2000) menunjukkan elastisitas pertumbuhan PDB (pendapatan) perkapita dari kelompok miskin adalah 1% (pertumbuhan rata-rata 1% meningkatkan pendapatan masyarakat miskin 1%).
7.Timmer (1997) menyimpulkan bahwa elastisitas pertumbuhan PDB (pendapatan) perkapita dari kelompok miskin adalah 8% artinya kurang dari proporsional keuntungan bagi kelompok miskin dari pertumbuhan ekonomi
Untuk mengukur pengaruh pertumbuhan sektoral terhadap tingkat kemiskinan digunakan:
Ln P= a + b1 Ln Y1 + b2 Ln Y2 + b3 Ln Y3 + u + R
Dimana:
P : Fraksi dari jumlah populasi dengan pengeluaran konsumsi dibawah pengeluaran minimum yang telah ditetapkan sebelumnya (garis kemiskinan)
Y : Tingkat output per kapita untuk sector pertanian, inustri pengolahan, dan jasa
u dan R:term kesalahan
Ada korelasi yang negative antara tingkat pendapatan dan kemiskinan (semakin tinggi tingkat pendapatan perkapita, semakin rendah tingkat kemiskinan). Nilai koefisien korelasi untuk 4 wilayah.

Asia TimurAmerika LatinAsia SelatanAfrika Sub-SaharaINC-0,03
(-0,03)0,26
(1,79)0,31
(3,31)0,17
(1,72)LnY-1,60
(-9,36)-1,13
(-6,11)-0,82
(-10,12)-0,71
(-4,53)Adj. R20,840,680,830,93Observasi701076748
Hasil penelitian per sector:

Asia TimurAmerika LatinAsia SelatanAfrika Sub-SaharaINC0,05
(0,6)0,3
(2,32)0,36
(3,95)0,08
(0,78)LnYpertanian0,40
(0,66)-0,33
(-1,47)-1,17
(-4,29)-0,32
(-3,05)LnYindustri-1,31
(-4,28)0,28
(1,21)-0,03
(-0,2)-0,03
(-0,31)LnYjasa0,02
(0,08)-1,21
(-4,88)-0,22
(-1,3)-0,16
(-1,55)Adj.
The Generalied Entropy (GE)
GE( ) = (1/(α2-α)
n=jumlah individu/orang dalam sampel
yi=pendapatan individu (i=1,2,…n)
= (1/n) adalah ukuran rata-rata pendapatan
Nilai GE terletak 0 sampai ∞. Nilai GE 0 berarti distribusi pendapatan merata dan GE bernilai 4 berarti kesenjangan yang sangat besar.
α = mengukur besarnya perbedaan antara pendapatan dari kelompok yang berbeda didalam distribusi tersebut dan mempunyai nilai riil
1.Ukuran Atkinson
A = 1 -
ϵ=parameter ketimpangan, 0<ϵ<1, semakin tinggi nilai ϵ, semakin tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai α dari 0 sampai 1. Nilai 0 berarti tidak ada ketimpangan dalam distribusi pendapatan 2.Koefisien Gini Gini = (1/2n2- Nilai koefisien Gini dari 0 sampai 1. Nilai 0 berarti kemerataan sempurna dan nilai 1 berarti ketidakmerataan sempurna (satu orang/kelompok orang disuatu Negara menikmati semua pendapatan Negara). Ide dasar perhitngan koefisien Gini adalah Kurva Lorenz Kurva Lorenz menggambarkan distribusi komulatif pendapatan nasional diberbagai lapisan penduduk. Sumbu vertical è presentase komulatif pendapatan nasional & Sumbu horizontal è persentase komulatif penduduk. 1.Kriteria Bank Dunia. Bank dunia mengklasifikasikan ketidakmerataan berdasarkan tiga lapisan: 40 % penduduk berpendapatan terendahè Penduduk termiskin 40 % penduduk berpendapatan menengah 20 % penduduk berpendapatan tinggi KLASIFIKASI  DISTRIBUSI PENDAPATAN  Ketimpangan Parah  40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati < 12 % pendapatan nasional  Ketimpangan Sedang  40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati 12 - 17 % pendapatan nasional  Ketimpangan Lunak (Distribusi Merata) 40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati > 17 % pendapatan nasional 

Pertengahan tahun 1997 Pendapatan per kapita Indonesia $ US 1,000 dengan 10 % penduduk saja yang menikmati 90% pendapatan nasional dan 90 % penduduk yang menikmati 10% pendapatan nasional berarti pemerataan pendapatan pendapatan masih kurang.
Perbandingan Indonesia dengan Swiss
Rasio Angka Gini.
Tahun 
Kota 
Desa 
Nasional 
1965 
0,34 
0,35 
0,35 
1970 
0,33 
0,34
0,35 
1976 
0,35 
0,31
0,34
1978
0,38 
0,34
0,40
1980 
0,36 
0,31
0,34
1981 
0,33 
0,29
0,33
1984 
0,32 
0,28
0,33
1986 
0,32 
0,27
0,33
1987 
0,32 
0,26
0,32
1990 
0,34 
0,25
0,32
1993 
0,33
0,26
0,34
1994 
0,34 
0,26
0,34
1995 
0,35
0,27
0,35 
1996 
0,35
0,27
0,36
1997 
0,35
0,26
0,37

Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahun PDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
1971 – 1980 laju rata-rata pertahun PDB 6 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,4
Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahunPDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
1981 – 1990 laju rata-rata pertahun PDB 5,4 % dengan angka Gini rat-rata per per tahun 0,3

Foster (1984) memperkenalkan 3 indkator untuk mengukur kemiskinan:
1.The incidence of poverty (rasio H) yaitu % dari populasi yang hidup adlam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan
2.The depth of poverty yaitu menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan Poverty Gap Index / indeks jarak kemiskinan (IJK) yaitu mengestimasi jarak pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai proporsi dari garis tersebut.

 
Pa = (1/n) a untuk semua yi 1.
= perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok ke I keluarga miskin (yi) dalam bentuk % dari garis kemiskinan.
a=
% eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor dan jika dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi, maka akan menghasilkan indeks Pa.

 
3.The severity of poverty/Distributionally Sensitive Index yaitu mengukur tingkat keparahan kemiskinan dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK) atau mengetahui intensitas kemiskinan.
Peneliti lain memasukkan 2 faktor lain yakni rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin dan besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar orang miskin. Semakin rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin, semakin besar gap pendapatan antar orang miskin sehingga kemiskinan bertambah besar. Dengan memasukkan 2 faktor tersebut, maka muncul Indeks Kemiskinan Sen:

 
S = H [I + (1-I)Gini]

 
I adalah jumlah rata-rata difisit pendapatan dari orang miskin sebagai % dari garis kemiskinan.
Koefisien Gini mengukur ketimpangan antar orang miskin.
Jika salah satu factor ini naik, maka kemiskinan meningkat.

 
Perubahan pola distribusi pendapatan dipedesaan disebabkan oleh:
1.Urbanisasi jaman ordebaru sangat pesat
2.Struktur pasar dan besar distorsi yang berbeda antara kota dan desa. Desa memiliki jumlah sektor, output per sektor, dan pendapatan perkapita lebih kecil daripada kota.
3.Dampak positif pembangunan nasional yang berbentuk: (a) berbagai kegiatan ekonomi di desa (perdagangan, industry dan jasa); (b) Produksitivitas dan pendapatan TK pertanian dan penggunaan teknologi pertanian meningkat; dan (c) pemanfaatan SDA yang lebih baik di desa.

 

 
Perubahan tingkat upah (W) di desa dan kota dalam rupiah per bulan.
Tahun 
Kota 
Desa 
Rasio D/K 
1986 
Rp 88.073 
Rp 59.237 
67 
1990 
115.835 
66.395 
57 
1997 
288,498 
186.753 
65 

 

 
Bukti empiris hipotesis U terbalik di Indonesia tahun 1960an sampai 1990an.

Distribusi dari 1,2 milyar penduduk miskin di dunia yang hidup dengan pendapatan kurang dari US1 per hari tahun 1998.

 
Europe and central Asia 
2% 
Middle East and North Africa 
0.50%
South Asia 
43.50% 
Latin America and The Caribbean 
6.50% 
East Asia and Pasific 
23.20% 
Africa -SubSaharan 
24.30% 


Perubahan tingkat kemiskinan dan GDP per kapita di Asia.

Negara 
Kemiskinan 
Perubahan Tahunan 

Tahun 

Tahun 

Kemiskinan per kapita
PDB Riil 
Bangladesh 
1992 
58,8
1996
53,1
-2,5
3,1
Cina 
1994 
8,4
1996
6
-15,5
10,5
India 
1992 
40,9 
1994 
35 
-7,5 
3,3 
Indonesia 
1990 
15,1 
1996 
15,7 
0,6 
6,2 
Korsel 
1994 
16,4 
1995 
12,3 
-25 
7,3 
Malaysia 
1995 
9,6 
1997 
6,8 
-15,8 
4,2 
Pakistan
1993 
22,4 
1997 
31 
8,5 
1,5 
Philipina 
1994 
40,6 
1997 
36,8 
-3,2 
2,6 
Taiwan 
1996 
0,5 
1997 
0,5 

5,3 
Thailand 
1994 
16,3 
1996 
11,4 
-16,4 
7,7 
Vietnam 
1996 
19,2 
1997 
17,7 
-8 
7,4 

Kebijakan Anti kemiskinan.

Kebijakan lembaga dunia mencakup World Bank, ADB, UNDP, ILO, dsb.
World bank (1990) peprangan melawan kemiskinan melalui:
1.Pertumbuhan ekonomi yang luas dan menciptakan lapangan kerja yang padat karya
2.Pengembangan SDM
3.Membuat jaringan pengaman social bagi penduduk miskin yang tidak mampu memperoleh dan menikmati pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja serta pengembangan SDM sebagai akibat dari cacat fisik dan mental, bencana, konflik social atau wilayah yang terisolasi
World bank (2000) memberikan resep baru dalam memerangi kemiskinan dengan 3 pilar:
1.Pemberdayaan yaitu proses peningkatan kapasitas penduduk miskin untuk mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan memperkuat partisipasi mereka dalam proses politik dan pengambilan keputusan tingkat local.
2.Keamanan yaitu proteksi bagi orang miskin terhadap goncangan yang merugikan melalui manajemen yang lebih baik dalam menangani goncangan ekonomi makrodan jaringan pengaman yang lebih komprehensif
3.Kesempatan yaitu proses peningkatan akses kaum miskin terhadap modal fisik dan modal manusia dan peningkatan tingkat pengembalian dari asset asset tersebut.
ADB (1999) menyatakan ada 3 pilar untuk mengentaskan kemiskinan:
1.Pertumbuhan berkelanjutan yang prokemiskinan
2.Pengembangan social yang mencakup: pengembangan SDM, modal social, perbaikan status perempuan, dan perlindungan social
3.Manajemen ekonomi makro dan pemerintahan yang baik yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan
4.Factor tambahan:
Pembersihan polusi udara dan air kota-kota besar
Reboisasi hutan, penumbuhan SDM, dan perbaikan tanah
Strategi oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan:
1.Jangka pendek yaitu membangun sector pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan
2.Jangka menenga\h dan panjang mencakup:
Pembangunan dan penguatan sector swasta
Kerjasama regional
Manajemen APBN dan administrasi
Desentralisasi
Pendidikan dan kesehatan
Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
Pembagian tanah pertanian yang merata

DAFTAR PUSTAKA :

kuswanto.staff.gunadarma.ac.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan
www.google.com
Buku Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro dan Makro) edisi revisi, Rahardja P, Manurung M, Universitas Indonesia
World Bank

Kamis, 10 Maret 2011

NERACA PEMBAYARAN DAN PENDAPATAN NASIONAL

I. Pendahuluan
Tulisan ini membahas tentang Neraca pembayaran dan Pendapatan sosial.Di dalam Neraca pembayaran akan di jelaskan tentang tujuan utama dan komponen-komponen dari Neraca pembayaran.Didalam Pendapatan nasional juga akan dijelaskan ini lebih rinci lagi dengan disertakan cara menghitungnya.
Dengan membaca tulisan ini anda diharapkan dapat mengerti dan menjelaskan mengenai Neraca pembayaran,Pendapatan nasional serta dapat menghitung GDP,GNP,NNP,NNI,PI dan DI.

Neraca pembayaran merupakan suatu ikhtisar yang meringkas transaksi-transaksi antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Neraca pembayaran mencakup pembelian dan penjualan barang dan jasa, hibah dari individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial. Umumnya neraca pembayaran terbagi atas neraca transaksi berjalan dan neraca lalu lintas modal dan finansial, dan item-item finansial.
Transaksi dalam neraca pembayaran dapat dibedakan dalam dua macam transaksi.

1. Transaksi debit, yaitu transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari dalam negeri ke luar negeri. Transaksi ini disebut transaksi negatif (-), yaitu transaksi yang menyebabkan berkurangnya posisi cadangan devisa.
2. Transaksi kredit adalah transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari luar negeri ke dalam negeri. Transaksi ini disebut juga transaksi positif (+), yaitu transaksi yang menyebabkan bertambahnya posisi cadangan devisa negara.

Tujuan utama neraca pembayaran yaitu untuk memberikan informasi kepada pemerintah tentang posisi keuangannya, khususnya yang terkait dengan hasil praktek hubungan ekonomi dengan negara lain. Neraca pembayaran juga dapat membantu dalam pengambilan keputusan bidang moneter, fiskal, perdagangan dan pembayaran internasional

Komponen Neraca Pembayaran
Neraca pembayaran dibagi kedalam empat komponen sebagai berikut:
a. Neraca perdagangan/Neraca Barang.
Neraca perdagangan yaitu selisih nilai ekspor dan impor barang. Neraca perdagangan termasuk kategori neraca berjalan atau Current Acount. Neraca perdagangan Indonesia umumnya mengalami surplus, artinya nilai ekspor melebihi nilai impor.

b. Neraca Jasa-jasa.
Neraca jasa-jasa yaitu selisih antara ekspor jasa dan impor jasa. Neraca jasa termasuk kategori neraca berjalan atau Current Acount Neraca jasa Indonesia selalu mengalami defisit dan defisitnya lebih besar dari surplus pada neraca perdagangan.

c. Neraca Modal
Neraca modal atau Capital Account merupakan selisih antara aliran modal masuk dan modal keluar. Selama masa krisis ekonomi terlihat neraca modal Indonesia negatif karena banyaknya arus modal jangka pendek ke luar negeri.

d. Neraca Emas
Neraca Emas atau Gold Account adalah transaksi emas ebagai alat bayar atas uang, sedangkan transaksi non monetary gold termasuk ke dalam kategori current account karena diperlukan sebagai barang komoditas biasa.

Setelah mempelajari bab tentang sistem perekonomian di Indonesia, dan mengetahui macam-macam sistem ekonomi di seluruh dunia, sekarang akan di bahas beberapa elemen penting yang menentukan tingkat kesejahteraan ekonomi suatu negara.
Neraca pembayaran, pendapatan nasional, produk domestik bruto atau GDP, dan produk nasional bruto atau GNP adalah elemen-elemen penting dalam suatu perekonomian negara, karena dengan mengetahui dan mempelajari ke empat hal tersebut, kita dapat mengetahui, menganalisis, dan menetukan hasil dari kebijakan ekonomi yang diajalankan suatu negara. Apakah mempunyai dampak positif? Apakah berjalan dengan baik? Dan dapat menentukan kemakmuran atau kesejahteraan suatu negara.
II.Neraca Pembayaran
Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.
1. Siklus aliran pendapatan (circular flow) dan interaksi antar pasar.
a. Siklus Aliran Pendapatan (Cirlular Flow)
Model circular flow membagi perekonomian menjadi empat sector :
• Sektor Rumah Tangga (Household Sector)
• Sektor Perusahaan (Firms Sector)
• Sektor Pemerintah (Government Sector)
• Sektor Luar Negeri (Foreign Sector)

b. Tiga Pasar Utama (Three Basic Markets)
Untuk analisis ekonomi makro, pasar-pasar yang begitu banyak dikelompokkan menjadi tiga pasar utama (three basic markets) :
• Pasar Barang Dan Jasa (Goods And Services Market)
• Pasar Tenaga Kerja (Labour Market)
• Pasar Uang Dan Modal (Money And Capital Market)

2. Metode penghitungan pendapatan nasional
Ada tiga cara perhitungan pendapatan nasional, yaitu metode output (output approach), metode pendapatan (income approach), dan metode pengeluaran (exspenditure approach). Masing-masing metode (pendekatan) melihat pendapatan nasional dari sudut pandang yang berbeda, tetapi hasilnya saling melengkapi.

a. Metode Output (Output Approach) Atau Metode Produksi
Menurut metode ini, PDB adalah total output (produksi) yang dihasilkan oleh suatu perekonomian. Cara perhitungan dalam praktik adalah dengan membagi-bagi perekonomian menjadi beberapa sektor produksi.

b. Metode Pendapatan (Income Approach)
Metode pendapatan memandang nilai output perekonomian sebagai nilai total balas jasa atas factor produksi yang digunakan dalam proses produksi.

c. Pengeluaran (Exspenditure Approach)
menurut metode pengeluaran, nilai PDB merupakan nilai total pengeluaran dalam perekonomian selama periode tertentu. Menurut metode ini ada beberapa jenis pengeluaran agregat dalam suatu perekonomian :
• Konsumsi Rumah Tangga (Household Consumption)
• Pengeluaran Investasi (Investment Expenditure)
• Konsumsi Pemerintah (Government Consumption)
• Ekspor Neto (Neto Export)

3. Beberapa Pengertian Dasar Tentang Perhitungan Agregatif
tujuan perhitungan output maupun pengeluaran dan ukuran-ukuran agregat lainnya adalah untuk menganalisis dan menentukan kebijakan ekonomi guna memperbaiki atau meningkatkan kemakmuran atau kesejahteraan rakyat. Beberapa pengertian yang harus di pelajari berkaitan dengan hal tersebut adalah :
a. Produk Domestic Bruto (Gross Domestic Products)
b. Produk Nasional Bruto (Gross National Products)
c. Produk Nasional Neto (Net National Products)
d. Pendapatan Nasional (National Income)
e. Pendapatan Personal (Personal Income)
f. Pendapatan Personal Disposable (Disposable Personal Income)

4. PDB harga berlaku dan harga konstan
Nilai PDB suatu periode tertentu sebenarnya merupakan hasil perkalian antara harga barang yang diproduksi dengan jumlah barang yang di hasilkan. Sebagai contoh : PDB 2007 adalah hasil perkalian antara harga barang tahun 2007 dengan jumlah barang yang di produksi tahun 2007.
Untuk memperoleh PDB harga konstan, kita harus menentukan tahun dasar (based year), yang merupakan tahun dimana perekonomian berada dalam kondisi baik atau stabil. Dan harga barang pada tahun tersebut dapat kita gunakan sebagai harga konstan.

5. Manfaat Dan Keterbatasan Perhitungan PDB

a. Perhitungan PDB Dan Analisa Kemakmuran
Perhitungan PDB akan memberikan gambaran ringkas tentang tingkat kemakmuran suatu Negara, dengan cara membaginya dengan jumlah penduduk. Angka tersebut dikenal sebagai angka PDB per kapita.
Biasanya makin tinggi angka PDB perkapita, kemakmuran rakyat di anggap makin tinggi. Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) juga menggunakan angka PDB perkapita untuk menyusun kategori tingkat kemakmuran suatu Negara.

b. Perhitungan PDB Dan Masalah Kesejahteraan Social
Perhitungan PDB maupun PDB perkapita juga dapat digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan social suatu masyarakat. Umumnya ukuran tingkat kesejahteraan yang di pakai adalah tingkat pendidikan, kesehatan dan gizi, kebebasan memilih pekerjaan dan jaminan masa depan yang lebih baik.
Masalah mendasar dalam perhitungan PDB adalah tidak di perhatikannya dimensi nonmaterial. Sebab PDB hanya menghitung output yang di anggap memenuhi kebutuhan fisik atau materi yang dapat di ukur dengan nilai uang.

c. PDB Per Kapita Dan Masalah Produktivitas
Sampai batas-batas tertentu, angka PDB perkapita dapat mencerminkan tingkat produktivitas suatu Negara. Untuk memperoleh perbandingan prokditivitas antar Negara, ada beberapa hal yang perlu di pertimbangkan :
• Jumlah dan komposisi penduduk
• Jumlah dan struktur kesempatan kerja
• Faktor-faktor nonekonomi

d. Penghitungan PDB Dan Kegiatan-Kegiatan Ekonomi Tak Tercatat
(Underground Economy)
Angka statistik PDB Indonesia yang di laporkan oleh badan pusat statistik hanya mencatat kegiatan-kegiatan ekonomi formal. Karena itu statistik PDB belum mencerminkan seluruh aktivitas perekonomian suatu Negara.
Di Negara-negara berkembang, keterbatasan kemampuan pencatatan lebih di sebabkan oleh kelemahan administratif dan struktur kegiatan ekonomi masih di dominasi oleh kegiatan pertanian dan informal.

KONSEP PENDAPATAN NASIONAL
1. PDB/GDP (Produk Domestik Bruto/Gross Domestik Product)
Produk Domestik Bruto adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu Negara selama satu tahun. Dalam perhitungannya, termasuk juga hasil produksi dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi diwilayah yang bersangkutan

2. PNB/GNP (Produk Nasional Bruto/Gross Nasional Product)
PNB adalah seluruh nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat suatu Negara dalam periode tertentu, biasanya satu tahun, termasuk didalamnya barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat Negara tersebut yang berada di luar negeri.
Rumus
GNP = GDP – Produk netto terhadap luar negeri

3. NNP (Net National Product)
NNP adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat dalam periode tertentu, setelah dikurangi penyusutan (depresiasi) dan barang pengganti modal.
Rumus :
NNP = GNP – Penyusutan

4. NNI (Net National Income)
NNI adalah jumlah seluruh penerimaan yang diterima oleh masyarakat setelah dikurangi pajak tidak langsung (indirect tax)
Rumus :
NNI = NNP – Pajak tidak langsung

5. PI (Personal Income)
PI adalah jumlah seluruh penerimaan yang diterima masyarakat yang benar-benar sampai ke tangan masyarakat setelah dikurangi oleh laba ditahan, iuran asuransi, iuran jaminan social, pajak perseorangan dan ditambah dengan transfer payment.
Rumus :
PI = (NNI + transfer payment) – (Laba ditahan + Iuran asuransi + Iuran jaminan social + Pajak perseorangan )

6. DI (Disposible Income)
DI adalah pendapatan yang diterima masyarakat yang sudah siap dibelanjakan oleh penerimanya.
Rumus :
DI = PI – Pajak langsung


III. Pendapatan Nasional
Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya (Inggris) pada tahun 1665. Dalam perhitungannya, ia menggunakan anggapan bahwa pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (konsumsi) selama setahun. Jadi jika di simpulkan lagi pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.
Berikut adalah beberapa konsep pendapatan nasional
1.Produk Domestik Bruto (GDP)
Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun, baik WNI atau WNA. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor.
Rumus PDB
PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran pemerintah + (ekspor – impor)
PDB = C + I + G + (X – M)
Di mana konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, investasi oleh sektor usaha, pengeluaran pemerintah oleh pemerintah, dan ekspor dan impor melibatkan sektor luar negeri. Rumus ini termasuk rumus pendekatan pengeluaran.
1.Produk Nasional Bruto (GNP)
Produk Nasional Bruto (Gross National Product) atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun,  termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut jadi hanya WNI saja.
Rumus PNB
PNB = PDB – PPLN + PPDN
PNB = PDB + PPPN
Jika PDB kurang meberikan gambaran tentang berapa sebenarnya output yang dihasilkan oleh faktor – faktor produksi milik perekonomian domestik, dalam PNB dapat di ketahui. Di negara yang sedang berkembang nilai PNB lebih kecil dari PDB karena nilai impor faktor produksi lebih besar daripada nilai ekspor faktor produksi.
1.Produk Nasional Neto (NNP)
Produk Nasional Neto (Net National Product) adalah GNP dikurangi depresiasi atau penyusutan barang modal (sering pula disebut replacement). Replacement penggantian barang modal/penyusutan bagi peralatan produski yang dipakai dalam proses produksi umumnya bersifat taksiran sehingga mungkin saja kurang tepat dan dapat menimbulkan kesalahan meskipun relatif kecil.
1.Pendapatan Nasional Neto (NNI)
Pendapatan Nasional Neto (Net National Income) adalah pendapatan yang dihitung menurut jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Besarnya NNI dapat diperoleh dari NNP dikurang pajak tidak langsung. Yang dimaksud pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain seperti pajak penjualan, pajak hadiah, dll.
1.Pendapatan Perseorangan (PI)
Pendapatan perseorangan (Personal Income)adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan apapun. Pendapatan perseorangan juga menghitung pembayaran transfer (transfer payment). Transfer payment adalah penerimaan-penerimaan yang bukan merupakan balas jasa produksi tahun ini, melainkan diambil dari sebagian pendapatan nasional tahun lalu, contoh pembayaran dana pensiunan, tunjangan sosial bagi para pengangguran, bekas pejuang, bunga utang pemerintah, dan sebagainya. Untuk mendapatkan jumlah pendapatan perseorangan, NNI harus dikurangi dengan pajak laba perusahaan (pajak yang dibayar setiap badan usaha kepada pemerintah), laba yang tidak dibagi (sejumlah laba yang tetap ditahan di dalam perusahaan untuk beberapa tujuan tertentu misalnya keperluan perluasan perusahaan), dan iuran pensiun (iuran yang dikumpulkan oleh setiap tenaga kerja dan setiap perusahaan dengan maksud untuk dibayarkan kembali setelah tenaga kerja tersebut tidak lagi bekerja).
1.Pendapatan yang siap dibelanjakan (DI)
Pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income) adalah pendapatan yang siap untuk dimanfaatkan guna membeli barang dan jasa konsumsi dan selebihnya menjadi tabungan yang disalurkan menjadi investasi. Disposable income ini diperoleh dari personal income (PI) dikurangi dengan pajak langsung. Pajak langsung (direct tax) adalah pajak yang bebannya tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, artinya harus langsung ditanggung oleh wajib pajak, contohnya pajak pendapatan
Pendapatan negara dapat dihitung dengan tiga metode, yaitu:
1.Metode pendapatan, dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (upah, sewa, bunga, dan laba) yang diterima rumah tangga konsumsi dalam suatu negara selama satu periode tertentu sebagai imbalan atas faktor-faktor produksi yang diberikan kepada perusahaan.
Rumus à PN = w + i + r + π
w         = upah / gaji
i           = pendapatan bunga
r           = pendapatan sewa
π          = keuntungan
1.Metode produksi, dengan cara menjumlahkan nilai seluruh produk yang dihasilkan suatu negara dari bidang industri, agraris, ekstraktif, jasa, dan niaga selama satu periode tertentu. Nilai produk yang dihitung dengan pendekatan ini adalah nilai jasa dan barang jadi (bukan bahan mentah atau barang setengah jadi). Namun dalam perhitungan metode ini dapat terjadi perhitungan ganda, untuk menghindarinya terdapat 2 cara yaitu, menghitung nilai akhir dan nilai tambah. Yang dimaksud nilai tambah adalah selisih antara nilai output dengan nilai input antara.
Rumus à NT = NO – NI
NT       = Nilai tambah
NO      = Nilai ouput
NI        = Nilai input antara
Dari persamaan tersebut sebenarnya dapat dikatakan bahwa proses produksi merupakan proses menciptakan atau meningkatkan nilai tambah. Aktivitas produksi yang baik adalah aktivitas yang menghasilkan NT > 0. Dengan demikian besarnya PDB adalah :
PDB = n∑i=1 NT
i           =  sektor produksi ke 1, 2, 3 ….
1.Metode pengeluaran, dengan cara menghitung jumlah seluruh pengeluaran agregat untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara selama satu periode tertentu. Perhitungan dengan pendekatan ini dilakukan dengan menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh empat pelaku kegiatan ekonomi negara, yaitu: Rumah tangga (Consumption), pemerintah (Government), pengeluaran investasi (Investment), dan selisih antara nilai ekspor dikurangi impor (X − M)
Kesimpulan

Neraca pembayaran merupakan ringkasan transaksi-transaksi penduduk suatu Negara dengan penduduk Negara lain. Neraca pembayaran mencakup pembelian dan penjualan barang dan jasa, hibah dari individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial. Tujuan utama neraca pembayaran yaitu untuk memberikan informasi kepada pemerintah tentang posisi keuangannya, khususnya yang terkait dengan hasil praktek hubungan ekonomi dengan negara lain. Neraca pembayaran juga dapat membantu dalam pengambilan keputusan bidang moneter, fiskal, perdagangan dan pembayaran internasional

Pendapatan nasional merupakan jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.

Neraca pembayaran adalah catatan dari semua transaksi ekonomi internasional yang
meliputi perdagangan, keuangan dan moneter antara penduduk dalam negeri dengan
penduduk luar negeri selama periode waktu tertentu, biasanya satu tahun atau dikatakan
sebagai laporan arus pembayaran (keluar dan masuk) untuk suatu negara.
Tujuan utamannya adalah untuk memberikan informasi kepada pemerintah tentang posisi keuangan dalam hubungan ekonomi dengan negara lain serta membantu di dalam pengambilan kebijaksanaan moneter,fiskal,p erdagangan dan pembayaran internasional.
Transaksi dalam neraca pembayaran dapat dibedakan dalam dua macam transaksi.
1.Transaksi debit, yaitu transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari dalam negeri ke luar negeri. Transaksi ini disebut transaksi negatif (-), yaitu transaksi yang menyebabkan berkurangnya posisi cadangan devisa.
2.Transaksi kredit adalah transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari luar negeri ke dalam negeri. Transaksi ini disebut juga transaksi positif (+), yaitu transaksi yang menyebabkan bertambahnya posisi cadangan devisa negara.
Intinya, neraca pembayaran dan pendapatan nasional memiliki manfaat yang hampir sama. Yaitu dapat mengetahui terutama PDB suatu negara kemudian meningkat dengan PNB, umumnya suatu negara berkembang tidak memilki PDB yang lengkap dan terperinci seperti Indonesia alur PDB nya tidak terperinci Amerika Serikat.
Selain bertujuan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara dan untuk mendapatkan data-data terperinci mengenai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara selama satu periode, perhitungan pendapatan nasional juga memiliki manfaat-manfaat lain, diantaranya untuk mengetahui dan menelaah struktur perekonomian nasional. Data pendapatan nasional dapat digunakan untuk menggolongkan suatu negara menjadi negara industri, pertanian, atau negara jasa.
Contohnya, berdasarkan pehitungan pendapatan nasional dapat diketahui bahwa Indonesia termasuk negara pertanian atau agraris, Jepang merupakan negara industri, termasuk negara yang unggul di sektor jasa, dan sebagainya.
Disamping itu, data pendapatan nasional juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya kontribusi berbagai sektor perekomian terhadap pendapatan nasional, misalnya sektor pertanian, pertambangan, industri, perdaganan, jasa, dan sebagainya. Data tersebut juga digunakan untuk membandingkan kemajuan perekonomian dari waktu ke waktu, membandingkan perekonomian antarnegara atau antardaerah, dan sebagai landasan perumusan kebijakan pemerintah.
V. Daftar Pustaka
www.google.com
www.wikipedia.co.id
Buku Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro dan Makro) edisi revisi, Rahardja P, Manurung M, Universitas Indonesia